BAB
1
PENDAHULUAN
Pada
dasarnya penyusunan makalah ini, membuat kami mahasiswa, khususnya Ilmu Sejarah
mengerti dan memahami tentang pembayar pajak pada abad XIX dan pajak masa
Raffles. Sehingga dapat membantu mahasiswa dalam memahami mata kuliah sejarah agraria.
Pada
tahun 1870 Cultuurstelsel berakhir dengan resmi ,. Penanam modal swasta akan
mengambil alih perkebunann-perkebunannya. Gejala Di Jawa abad 19 : pengacauan
petani tiadak ada tahun yang lewat tanpa adanya gangguan setempat terhadap
“kedamaian dan ketertiban”kolonial. Sistem pajak tanah, yang
diperkenalkan oleh Raffles pada masa ia berkuasa di Indonesia, merupakan salah
satu realisasi dari gagasan pembaharuan kaum liberal dalam kebijaksanakan
politik di tanah jajahan, yang besar pengaruhnya terhadap perubahan masyarakat
tanah jajahan pada masa kemudian. Pengenalan sistem pajak tanah yang
dilancarkan Raffles, merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuannya
tentang sistem sewa tanah di tanah jajahan.
Landrente hanya dapat dilaksanakan
agak tertib di Jawa Tengah dan di beberapa daerah Jawa Barat. Di Jawa Timur
(Banyuwangi, Probolinggo) di wilayah Batavia dan Priangan, karena Landrente tak
dapat dijalankan, maka secara paksa pemerintah menarik pajak dengan menggunakan
sistem lama. Demikian pula yang terjadi di beberapa daerah lain di luar Jawa,
misalnya di Madura, Sudah barang tentu, hasilnya tidak seperti yang telah
ditentukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada tahun
1870 Cultuurstelsel berakhir dengan resmi ,. Penanam modal swasta akan
mengambil alih perkebunann-perkebunannya. Sesaat Belanda hendak mencoba
mengembalikan sistem hak milik perorangan di Madiun, tetapi gagal karena
priyayi dan kepala desa agaknya tidak mau bekerja sama. Sistem itu sudah
berakar terlalu mendalam . Barang-barang
dari dunia luar yang dibutuhkan penduduk desa seperti pajak,pelayanan-layanan
lainnya, tekstil dan sebagainya harganya tetap mahal sementara pendapatan kaum
tani kecil. Seorang ahli ekonomi Belanda, J.H.Boeke, dalam hubungan ini
mengatakan, bahwa orang desa harus “beli
uang”, artinya mereka harus menjual pelayanan atau barang-barang untuk
memperoleh uang pembayar pajak dan pembeli barang –barang lainnya yang
dibutuhkan.
Gejala Di Jawa abad 19 : pengacauan petani tiadak ada
tahun yang lewat tanpa adanya gangguan setempat terhadap “kedamaian dan
ketertiban”kolonial. Dalam hampir semua hal aksi itu merupakan protes terhadap
sistem perpajakan dan biasanya datang dari pihak kaum yang berada, artinya kaum
tani dengan hak-hak tanah dan pembayar-pembayar pajak, tidak pernah dari kaum
yang sangat miskin dan tanpa tanah.
PAJAK MASA RAFFLES
A. LATAR BELAKANG
Dalam bukunya History Of Java, lebih
lanjut Raffles menulis; Gedung Balai Kota menjadi pusat segala macam kegiatan
pemerintahan. Pemerintah kota dan Pengadilan Tinggi berkantor ditempat yang
sama. Juga pedagang-pedagang yang melakukan transaksi sepanjang hari, sangat
sibuk dalam gedung tersebut. Sedangkan gudang-gudang selalu tampak penuh dengan
hasil-hasil yang menunjukkan kekayaan yang melimpah-limpah dari pulau Jawa.
Dalam pada itu lingkungan penduduk
Eropa yang biasanya tinggal dalam gugusan kota yang terbaik kelihatan hidup
dengan tenang dan mendapatkan penghormatan yang layak dari masyarakat. Juga
penduduk Cina tampak lebih terhormat daripada penduduk Bumiputera.
Keadaan sosial-ekonomi penduduk Cina
memang jauh lebih baik daripada penduduk Bumiputera. Lebih-lebih karena dalam
hal pemungutan pajak kebanyakan merekalah yang melakukannya. Misalnya saja,
yang paling banyak dikuasakan kepada mereka ialah pemungutan pajak pasar.
Keadaan demikian mulai berlaku sejak Daendels dalam rangka usahanya agar dengan
cepat dapat memperoleh uang, ia telah memborongkan atau mengontrakkan beberapa
jenis pemungutan pajak kepada beberapa orang Cina yang kaya. Batas waktu hak
memungut pajak dari para pemborong tidak diketahui dengan pasti. Oleh karena
itu pula maka dibagian-bagian kota yang lain, kewajiban membayar pajak para
pedagang di pasar-pasar jumlahnya juga tidak dapat diketahui dengan pasti.
Sulit diperkirakan karena penarikan pajak itu seolah-olah sudah menjadi hak
golongan tertentu. Akan tetapi mungkin juga masih dapat diperkirakan, yakni
masih lebih banyak daripada jumlah yang ditarik pada waktu-waktu yang lebih
kemudian.
Dari penjelasan Raffles perihal
pajak tersebut diatas, terutama pada kalimatnya yang terakhir, jelaslah bahwa
kemudian ia melakukan perombakan total dalarn sistem pemungutan pajak. Mencabut
hak pungut dari golongan tertentu, kemudian mengembalikannya kepada sistem
lama, yakni dijalankan oleh pemerintah.
B.
PAJAK MASA RAFFLES
Sudan lazim setiap datang penguasa
baru, hukum dan peraturan baru pun muncul pula. Demikian pula dalam
pelaksanaannya, terjadi perbedaan-perbedaan dan penyimpangan-penyimpangan,
meskipun dalam artikel 5 proklamasi 11 September 1811 telah ditentukan bahwa
segala macam kekuatiran akan terjadinya perubahan besar-besaran akan
dihindarkan. Akan tetapi peraturan-peraturan dasar yang menguntungkan bagi
Belanda juga dilanjutkan oleh Inggris.
Sistem pajak tanah, yang
diperkenalkan oleh Raffles pada masa ia berkuasa di Indonesia, merupakan salah
satu realisasi dari gagasan pembaharuan kaum liberal dalam kebijaksanakan
politik di tanah jajahan, yang besar pengaruhnya terhadap perubahan masyarakat
tanah jajahan pada masa kemudian.
Pengenalan sistem pajak tanah yang
dilancarkan Raffles, merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuannya
tentang sistem sewa tanah di tanah jajahan. Gagasannya itu timbul dari upayanya
untuk memperbaiki sistem paksa dari Kumpeni (VOC), yang dianggap memberatkan
dan merugikan penduduk. Menurut Raffles sistem penyerahan wajib dan kerja paksa
atau rodi, akan memberikan peluang tindakan penindasan, dan tidak akan
mendorong semangat kerja penduduk, karena itu merugikan pendapatan negara. Maka
dari itu Raffles menghendaki perubahan sistem penyerahan paksa dengan sistem
pemungutan pajak tanah, yang dianggap akan menguntungkan kedua belah pihak baik
negara maupun penduduk.
Dalam pengaturan pajak tanah,
Raffles dihadapkan pada pemilihan antara penetapan pajak secara sedesa dan
secara perseorangan. Sebelumnya pengumpulan hasil tanaman, terutama dari sawah
yaitu beras dilakukan melalui sistem penyerahan wajib melalui penguasa pribumi,
dan dikenakan secara kesatuan desa. Dalam hal ini para bupati dan kepala desa
memiliki keleluasaan untuk mengaturnya. Akan tetapi Raffles tidak menyukai cara
ini, karena penetapan pajak per desa akan mengakibatkan ketergantungan penduduk
kepada kemurahan para penguasa pribumi, dan penindasan terhadap rakyat tidak
dapat dihindarkan, Maka dan itu, Raffles lebih suka memilih penetapan pajak
secara perseorangan, karena akan lebih menentukan kepastian hukum dalam bidang
perpajakan, sekalipun tidak mudah.
Isi pokok sistem pajak tanah yang
diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang
pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal.
Penetapan pajak tanah tersebut didasarkan pada klasifikasi kesuburan tanah
masing-masing, dan terbagi atas tiga klasifikasi, yaitu terbaik (I), sedang
(II), dan kurang (III). Rincian penetapan pajak itu sebagai berikut :
1) Pajak Tanah Sawah :
Golongan
I,
1/2 Hasil Panenan
Golongan
II, 2/5
Hasil Panenan
Golongan
III, 1/3
Hasil Panenan
2)
Pajak Tanah Tegal :
Golongan
I,
2/5 Hasil Panenan
Golongan
II, 1/3
Hasil Panenan
Golongan
III, 1/4
Hasil Panenan
Pajak dibayarkan dalam bentuk uang
tunai atau dalam bentuk padi atau beras, yang ditarik secara perseorangan dari
penduduk tanah jajahan. Penarikan pajak dilakukan oleh petugas pemungut pajak.
Pelaksanaan pemungutan pajak tanah dilakukan secara bertahap. Pertama-tama
dilakukan percobaan penetapan pajak per distrik di Banten. Kemudian pada tahun
1813 dilanjutkan dengan penetapan pajak per desa, dan baru pada tahun 1814
diperintahkan untuk dilakukan penetapan pajak secara perseorangan.
Dalam pelaksanaannya, sistem
pemungutan pajak tanah ini, tidak semua dapat dilakukan menurut gagasannya,
karena banyak menghadapi kesulitan dan hambatan yang timbul dari kondisi di
tanah jajahan. Malahan praktek pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan
kericuhan dan penyelewengan. Belum adanya pengukuran luas tanah yang tepat, kepastian
hukum dalam hak milik tanah belum ada, hukum adat masih kuat, penduduk belum
mengenal ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan pelaksanaan
pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak menimbulkan
penyelewengan.
Kurang berhasilnya sistem pemungutan pajak tanah yang
dilancarkan Raffles, menyebabkan pemerintah Belanda yang menerima pengembalian
tanah jajahan dari Inggris pada tahun 1816, ragu dalam memilih antara sistem
pajak dan sistem paksa. Dihadapkan tuntutan negeni induk yang mendesak
pertimbangan terhadap sistem yang lebih menguntungkan negeri induk cenderung
selalu yang dipilih. Demikian pula, yang dihadapi para penguasa kolonial pada
masa 1816-1830.
Para penguasa kolonial Belanda
sesudah 1816, seperti para Komisaris Jenderal (1816-1819), Gubernur Jenderal
Van der Capellen (1819- 1826), dan Du Bus de Gesignies, misalnya, semula
berniat meneruskan gagasan liberal dengan melakukan politik perlindungan
hak-hak penduduk pribumi dan perbaikan nasibnya, terpaksa meneruskan politik
eksploitasi tanah jajahan demi keuangan negeri induk yang sedang mengalami
kemerosotan. Sekalipun demikian, mereka masih mencari cara-cara untuk
menjalankan prinsip kebebasan, sehingga kebijaksanaan politiknya bersifat
dualistis. Pada satu pihak, pemerintah melakukan sistem pungutan hasil tanaman
lewat penguasa pribumi, sekalipun dengan pengawasan ketat; pada pihak lain,
pemerintah memberikan keleluasaan pengusaha barat untuk membuka perkebunan dan
perusahaan agrobisnisnya.
Sementara itu, sistem pajak-tanah
terus dilaksanakan, tetapi berbeda dengan cara yang dikehendaki Raffles.
Pungutan pajak tanah dibebankan kepada desa, bukan kepada perseorangan.
Pembayaran pajak tanah tidak selalu dilakukan dengan uang, tetapi juga dengan
barang. Umumnya para petani dapat membayar dengan uang tunai apabila mereka
dapat menjual berasnya, terutama dalam jumlah besar. Penjualan beras dalam
jumlah besar hanya mungkin apabila terdapat perdagangan beras di pasaran yang
maju. Usaha untuk memperbesar produksi beras secara besar-besaran dan
menciptakan mekanisme pasar yang maju tidak mudah.
Berbeda dengan Raffles, pemerintah
kolonial Belanda sesudah tahun 1816 mempertahankan kedudukan para bupati
sebagai penguasa feodal (tradisional), di samping sebagai pegawai pemerintah kolonial,
yang bertanggung jawab atas pungutan pajak tanah.
C. PELAKSANAAN LANDRENTE
Kembali kepada soal pajak-tanah
(Landrente) yang diciptakan oleh Raffles dengan pengumuman 11 Pebruari 1811,
ternyata telah mendapat beberapa tantangan. Khususnya dalam bidang
administrasi, telah timbul berbagai kesulitan yang sukar diselesaikan.
Sebagaimana telah disinggung dimuka, peraturan itu terlalu tergesa-gesa
dikeluarkan dan serta merta sudah ada beberapa orang yang tidak dapat
menerimanya. Inilah satu sebab terpenting mengapa landrente tidak dapat
berjalan lancar. Sebab yang lain ialah, keadaan sosial-ekonomis penduduk desa
rata-rata sangat sukar untuk dapat.memenuhi pajak tanah tersebut, padahal
mereka sudah mempunyai kewajiban lain, yakni membayar iuran kas desa.
Sebegitu jauh, setelah diusahakan
sungguh-sungguh, landrente hanya dapat dilaksanakan agak tertib di Jawa Tengah
dan di beberapa daerah Jawa Barat. Di Jawa Timur (Banyuwangi, Probolinggo) di
wilayah Batavia dan Priangan, karena Landrente tak dapat dijalankan, maka
secara paksa pemerintah menarik pajak dengan menggunakan sistem lama. Demikian
pula yang terjadi di beberapa daerah lain di luar Jawa, misalnya di Madura,
Sudah barang tentu, hasilnya tidak seperti yang telah ditentukan.
Karena kemacetan-kemacetan yang
dialami dalam pelaksanaan system tersebut, pemerintah akhirnya mengadakan
pembaharuan besar-besaran, meliputi bidang administrasi dan staf pegawai.
Perombakan administrasi keuangan, kecuali yang bersangkut paut dengan landrente
akan digarap oleh Revenue Committee (Komisi Pembaharuan) yang dibentuk pada
tanggal 13 Agustus 1813. Staf Direksi landrente, stelsel pajak baru, akan
langsung diperbaharui dan dipimpin oleh Raffes selaku luitnant gouverneur,
Accountant General Office (Kantor Besar Akuntan), yang memegang kekuasaan
likwidasi dan peripikasi, menguasai seluruh pembukuan. Akan tetapi dalam soal
pengawasan dan penguasaan barang-barang perbendarahaan berada di luar wewenang
mereka. Jadi wewenang dan tanggung jawab mereka terbatas; yakni hanya dalam
segi pendapatan, bukan penggunaannya.
Segala macam peraturan tentang
pengawasan, menurut ketentuan ketentuan yang lebih kemudian tidak diketahui
lagi. Dalam pada itu perihal segenap bangunan atau gedung-gedung, diserahkan
kepada para pegawai atas dasar kepercayaan pada ketulusan dan ikhtiar mereka
masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
·
Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium sampai Imporium, Jilid 1.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1995.
·
Kartodirjo, Sartono, dkk. Sejarah Nasional
Indonesia III. Jakarta : PT Grafitas. 1975
·
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah
Nasional Indonesia III. Jakarta : Depdikbud. 1982.
·
M.C.Ricklefs. Cetakan lima. Sejarah Indonesia
Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University. 1995.
·
Nugroho Noto Susanto. Sejarah Nasional Indonesia
jilid II. Bandung : Masa Baru. 1979.
·
Prof.Dr.D.H.Burger. Indonesia antara tahun
1500-1800. Jakarta : Pradnjaparamita. 1962.
·
Sanusi Pane. Sejarah Indonesia II. Jakarta :
Balai Pustaka. 1965.
·
Tjondronegoro, M.P S, dan Gunawan, W. Dua Abad
Penguasaan Tanah. Jakarta: PT. Gramedia. 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar