Sabtu, 24 November 2012

LEGIUN MANGKUNEGARAN PADA ZAMAN HINDIA BELANDA


LEGIUN MANGKUNEGARAN PADA ZAMAN HINDIA BELANDA

Pendahuluan

Semakin menurunya minat mempelajari buaya sejarah oleh generasi muda, maka peneliti mengadakan penelitian tentang Prajurit Kraton Mangkunegaran, Surakarta, pada zaman kolonial Hindia Belanda guna mengetahui lebih jauh tentang prajurit yang ada di kraton tersebut.
Faktor penyebabnya generasi muda sudah meninggalkan sejarah dan budaya asli bangsa Indonesia dengan adanya kemajuan iptek dan globalisasi baik di lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Rendahnya minat baca dan kecintaan akan sejarah dan budaya bangsa.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas peneliti bermaksud untuk menulis materi perkuliahan tentang Prjurit Mangkunegaran Pada Saat Kolonial Hindia Belanda. Jadi ada beberapa permasalahan yang diangkat oleh penulis mengenai Legiun Mangkunegaran pada zaman Hindia-Belanda, yaitu:
1.                  Sejak kapan pasukan Mangkunegaran ada?
2.                  Bagaimana peran prajurit wanita di kraton Mangkunegaran?
3.                  Bagaimana struktur militer di Mangkunegaran
4.                  Peran apa sajakah yang pernah di lakukan oleh Pasukan Mangkunegran?
5.                  Bagaimana Kedudukan Pasukan Mangkunegaran pada Zaman Jepang?
Dari bebrapa permasalahan tersebut, penulis menulis makalah ini bertujuan untuk mengenal dan megetahui prajurit/ pasukan yang ada di Kraton Mangkunegaran Surakarta pada zaman Kolonial Hindia Belanda karena pada saat itu isa dikatakan bahwa Legiun Mangkenagaran merupakan sebuah pasukan yang sangat terlatih dan sudah digunakan untuk berbagai pertempuran baik di Jawa maupn di beberapa Negara di Eropa. Selain itu penulis juga ingin melestarikan budaya yang hampir punah agar bisa diketahui oleh generasi yang akan datang. Sebab seperti kita ketahui Legiun Mangkunegaran merupakan pasukan elit satu-satunya di Indonesia dan hanya dimiliki oleh Praja Mangkunegaran. Penulis juga ingin untuk menambah wawasan pengetahuan tentang keparajuritan pada zaman dahulu.

Sejarah Berdirinya Prajirit Mangkunagaran
Legiun mangkunegaran merupakan prajujrit profesional pertama di Nusantara. Prajurit mangkunegaran disebut prajurit profesional karena prajurit Mangkunegaran mendapat pendidikan Eropa dan hanya bekerja sebagai prajurit saja dan ketika pensiun kuga mendapatkan dan pensiun. Walaupun prajurit Mangkunegaran juga digunakan VOC ketika VOC berperang.
Legiun Mangkunegaran tidak diketahui kapan dibentuk dan diresmikan, tetapi cikal bakal Legiun Mangkunegaran  berasal dari penyusunan pasukan dilakukan di Laroh, Kawasan Wonogiri, dimana pasukan tersebut menjadi suatu angkatan perang yang lebih tersusun. Pada awal berdirinya namanya bukan Legiun dan pada berdirinya Praja Mangkungaran  pada17 Maret 1757 di pertemuan Salatiga yaitu dengan ditetapkanya “de positie, rang en inkomsten van dozen berugten, onder nomende en dappere prins, die java tot onderate boven had gegooid on dewelke achoon kleyn van postuur, het vuur en de vivaciteit uyt de oogen straalt- geregeld”, yang artinya “diatur kedudukan, pangkat serta penghasilan dari pangeran yang tenar, berani dan wira yang menjempalikkan tanah jawa, walaupun kecil badannya, namun matanya menyorotkan api dan kehidupan.” pasukan-pasukanya tetap dipelihara, pada hakekatnya lanjutan dari apa yang telah diadakan untuk bertempur dengan musuh. Dan setelah Praja Mangkunagaran berdiri dengan pemegang tampuk pimpinan Mangkunegara I barang tentu pasukan-pasukan itu juga menambah gengsi sebagaimana pada kerajaan lainya.
Awal terbentuknya Prajurit Mangkunagaran yaitu bertepatan dengan didirikan pada Raden Mas Said dijadikan pangeran Miji, langsung dibawah Sunan, dengan menerima hak-hak keistimewaan mengenai tata upacara dengan diberi tanah lungguh sebesar 4000 karya, terletak di  kawasan Laroh, daerah pangkal mulanya perjuangan ; matesih; pegunungan selatan. Raden Mas Said juga diberi gelar  “Pangeran Adipati Aria Mangkunagara”

Keadaan Awal Keprajuritan Mangkunagara
Setelah Raden Mas Said (Pangeran Samber Nyawa) diangkat menjadai Mangkunagara I, maka keadaan keprajuritan Mangkunagaran sebagai berikut:
Pasukan yang terbentuk dalam perjuangan ditambah lagi dengan :
1.      Trunakroda                        44 darat, keris, pedang
2.      Trunayukada                     44 darat, keris, perdang
3.      Minakan                            44 darat, keris, pedang
4.      Tambakbana                      44 darat, keris, pedang
5.      Tambakbrata                     44 darat, keris, pedang
6.      Dasawani                          44 darat, keris, cengking (memiliki Kerbau 40 ekor)
7.      Dasarambat                       44 darat, keris, Cengking (memiliki Kerbau 40 ekor)
8.      Prangtandang                    44 darat, panah,lawung, keris
9.      Tirtasana                            44 darat, panah, lawung
10.  Gunasemita                       44 darat, tumbak, sulam, keris
11.  Gunatalikrama                   44 darat, tumbak, sulam, keris
·         Gunan (memelihara 60 kerbau)
1.      Ciptamiguna                      44 darat, panah, keris
2.      Sabdamiguna                    44 darat, panah, keris
·         Dasarata (memelihara Kerbau 40 ekor)
1.      Dasamuka                         44 darat, tombak separo, senapan separo
2.      Nirbita                               44 darat, tombak separo, senapan separo
3.      Trunaduta                          44 darat, tombak, gambuh
4.      Handakalawung                44 darat, senapan
5.      Trunaduta                          44 darat, tombak, gambuh
6.      Trunasura                          44 darat, tombak, gambuh
7.      Handakalawung                44 darat, senapan
8.      Handakawatang                44 darat, senapan
9.      Kauman                             44 darat, bandil
10.  Danuwirata                       44 darat, bandil
11.  Danuwirapaksa                 44 darat, bandil
·         Madyan
1.      Madyautama                     44 darat, panah, keris carabali
2.      Madyaprabata                   44 darat
3.      Madyapratala                    44 darat
4.      Madyaprajangga               44 darat
·         Nagungan
1.      Katawinangun                   44 darat, panah, pentung
2.      Purwawinangun                44 darat, panah, pentung
1.      Singakurda                        88 darat, lawung sulam
2.      Brajawani                          44 darat, lawung
3.      Maradada                          44 darat, lawung
4.      Prawirarana                       44 darat, lawung
5.      Prawirasakti                      44 darat, lawung
6.      Sanaputra                          88 berkuda, karbin, keris, anggaran
Prajurit ini memelihara 100 ekor kerbau
Pada waktu Mangkunegara I memegang kekuasaan Praja Mangkunegaran terdapat pasukan prajurit dibagi dalam bagian yang semua jumlah banyaknya prajurit:
1.      Wanita yang berkuda                    44 priya           2076    = 2124
2.      Wnita yang membawa karbin       44 priya            440     = 484
3.      Wanita yang membawa senapan   44 priya           396     = 440
4.      Yang membawa Panah                      priya             83     =   83
         Tombak                                       528     = 528
         Pentung                                       396     = 396
         Gembel dan Bendil                     220     = 220
Pada keadaan aman kerbau- kerbau ini digunakan untuk mengolah sawah, Tetapi pada keadaan perang kerbau-kerbau ini dipakai sebagai hewan muatan: perkakas-perkakas perang yang dibutuhkan dalam palagan atau peluru
Pada awal pembentukan prajurit dalam jumlah tersebut termasuk dalam jumlah besar. Seragam yang digunakan dari praja mangkunagara tidak menentu, menurut kehendak Mangkunagara I dan tergantung apa yang dimiliki berupa bahan pakaian. Yang terbanyak dengan pinggiran renda. 

Sejarah Terbentuknya Pasukan Mangkunegaran

Legioen Mangkunegaran menempati barak tentara di lapangan sebelah barat jalan masuk Pura Mangkunegaran. Untuk persenjataannya ditempatkan di gedung sebelah timur. Segala bentuk biaya termasuk persenjataan dibiayai oleh pemerintah Hindia Belanda.Pura Mangkunegaran adalah sebuah kadipaten yang pada waktu kejayaannya juga mempunyai korps militer elit dan maju. Kekuatan militer yang dibentuk itu bernama Legioen Mangkunegaran yang pada masanya sangat disegani. Pada tanggal 29 Juli 1808, Gubernur Jenderal Daendels mengangkat Pangeran Ario Prabu Prang Wedono menjadi kolonel untuk memimpin Legioen Mangkunegaran. Awal jumlah tentara Legioen Mangkunegaran saat itu adalah 800 prajurit infantrie fusilier, 100 prajurit jagers, 200 prajurit kavallerie, dan 50 prajurit rijdende artillerie.Legioen Mangkunegaran merupakan tentara cadangan pemerintah Hindia Belanda yang bisa dipakai sewaktu-waktu jika pemerintah Hindia Belanda membutuhkannya.
Legioen Mangkunegaran juga dibekali berbagai keterampilan dalam bidang mempertahankan diri. Banyak juga buku pegangan yang diberikan kepada tentara Legioen Mangkunegaran, seperti Aanwijzingen voor de schiet-opleiding met de tankbuks m 38, yaitu petunjuk menembak dengan senapan tank 38. Selain itu juga ada buku Schiet-voorscrift voor de infantrie, Dee 1: Geweeren karabijn, yaitu buku petunjuk bagi infantri jilid 1: senapan dan karabin.
Kebangkrutan VOC sebagai kongsi dagang Belanda berakhir dengan dibubarkannya kongsi tersebut pada tanggal 1 Januari 1800 oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda.Tanggung jawab VOC di Nusantara ini juga lantas diambil alih oleh kerajaan. Pada waktu pembubaran terjadi, di Jawa kerajaan yang terbagi sudah menjalani suksesi untuk yang pertama kalinya sejak Giyanti (1755) dan Salatiga (1757).Kasunanan diperintah oleh Pakubuwana IV, Kasultanan diperintah oleh Hamengkubuwana II dan Mangkunegaran di perintah oleh Mangkunegara II. Ketiga penguasa di jawa itu dalam menghadapi perubahan jaman mengambil sikap yang berbeda. Semacam menganut suatu ideologi yang mendorong untuk bekerja demi kepentingan negara dan kerajaannya.
Mangkunegara II mengambil inisiatif yang cepat dengan datangnya Daendels ke Jawa.Legiun yang berkekuatan 1150 ribu personil dibentuk tahun 1808 sebagai wadah untuk menampung dan membangun kembali kekuatan militer peninggalan pendahulunya. Legiun ini terdiri dari pasukan infantri, kavaleri atau pasukan berkuda dan artileri. Sri Mangkunegara II adalah Kolonel pertama dalam pasukan Legiun Mangkunegaran dengan kata lain dalam sejarah Legiun ini Adipati ke dua di Mangkunegaran adalah pemegang jabatan komandan yang pertama kali.
Sri Mangkunegara II meski memiliki alasan kuat untuk membenci Belanda tetapi demi pembangunan militer yang kuat untuk sementara waktu mendahulukan kepentingan kerajaan dengan jalan mengundang perwira perwira militer Belanda yang profesional untuk melatih dan menggembleng Korps Mangkunegaran ini.

Prajurit Wanita Mengkunegaran

Tugas prajurit perempuan istana adalah menyambut tamu kehormatan. Mereka mengenakan pakaian laki-laki bersulam emas, menyambut tamu dengan menembakkan senjata tiga kali ke udara, setelah itu mereka naik kuda dan di belakangnya diikuti oleh Mangkunegara dan tamu-tamunya. Sesampai di tempat penerimaan tamu, prajurit perempuan itu masuk ke Dalem (sebuah ruang khusus) untuk berganti pakaian putih polos, dan kemudian tampil kembali di hadapan tamu-tamu, menunjukkan kemahirannya memanah. Pada saat yang lain, prajurit perempuan ini menari, memeragakan tubuhnya yang gagah-gemulai dalam tari-tari keprajuritan. Menurut penulis buku harian ini, yang merupakan bagian dari pasukan tersebut, para tamu berdecak kagum melihat kemahiran mereka, dan konon pertunjukan semacam ini belum pernah dilihat pegawai Kumpeni di Keraton Surakarta, Yogyakarta, dan Semarang.
Institusi keprajuritan perempuan ini dibangun setelah Mangkunegara I, anak Pangeran Arya Mangkunegara, adik Pakubuwana II, yang waktu mudanya bernama Suryakusuma dengan gelar Pangeran Prang Wadana, dan lebih populer disebut Mas Said, menghentikan peperangannya.

Belum jelas apakah prajurit perempuan juga pernah berperang di medan laga. Ann Kumar kesulitan menjawab hal ini karena ketaktersediaan sumber sejarah tentang itu. Kecuali, cerita para perempuan yang bertempur di medan perang yang banyak ditulis Sastra Jawa.Sebagai penyanding fakta, sebelum Mangkunegara I membentuk institusi prajurit perempuan itu, di Kerajaan Darusalam (sekarang Aceh) pada zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) telah dibentuk institusi serupa yang diberi nama Divisi Keumala Cahya. Diceritakan resimen prajurit perempuan itu dipimpin oleh perempuan pula, dengan tugas menyambut tamu-tamu agung istana. Resimen ini juga disebut suke kaway istana (resimen kawal istana). Karena itu, dituliskan oleh A Hasjmy (1983) dalam bukunya, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, prajurit perempuan itu dipilih dari gadis-gadis yang bertubuh ramping dan rupawan. Sebelumnya, pada masa kakek Iskandar Muda bertakhta, Sultan Alaidin Ri’ayat Syah IV (1589-1604) telah menghimpun janda prajurit yang dikirim perang ke Selat Malaka untuk perang dengan Portugis dan mendidik mereka sebagai prajurit maritim. Institusi prajurit maritim perempuan itu dinamakan Inong Balee di bawah pimpinan Laksamana Keumala Hayati (sering disebut Malahayati), yang benar-benar pergi perang ke Selat Malaka.
Ada Fakta bahwa pada abad ke-18 para perempuan telah dididik sebagai prajurit (kawal keraton) yang tampil gagah di muka umum dan melakukan hal-hal yang di luar penggambaran citra perempuan Asia selama ini. Ia membandingkan dengan geisha, prajurit perempuan ini terlatih untuk hal-hal yang ”feminin”, tetapi juga untuk hal-hal yang ”maskulin” yang selalu dicitrakan berbahaya.

Struktur Militer

Pada awalnya memiliki 2 perwira senior dengan pangkat mayor, 4 perwira letnan ajudan, 9 perwira kapitein, 8 perwira letnan tua, 8 perwira letnan muda, 32 sersan bintara, 62 tamtama kopral, 900 flankier, 200 dragonder (dragoon), dan 50 steffel. Seragam yang dipergunakan adalah; topi syako dan jas hitam pendek untuk bintara dan prajurit. Topi syako untuk perwira, kemudian jas hitam, dan celana putih.
Pembangunan kekuatan militer kerajaan secara periodik mencapai pasang surut sesuai dengan jamannya;
ü    Tahun 1808 Legiun Mangkunegaran memiliki; 1.150 prajurit yang terdiri dari 800 prajurit infanteri (Fusilier), 100 prajurit penyerbu (Jagers), 200 prajurit kavaleri (berkuda), dan 50 prajurit rijdende artileri(KOMPAS, 4 Oktober 2010)
ü    Tahun 1816 jumlah personilnya ada 739 serdadu kemudian sebanyak 800 orang.
ü    Tahun 1825-1830 jumlah personil militernya ada 1500 serdadu.
ü    Tahun 1831 Jumlahnya berkurang menjadi 1000 serdadu.
ü    Tahun 1888 Pasukan Artileri berkekuatan 50 tentara ditiadakan dengan alasan krisis keuangan.
Untuk membentuk dan membangun militer yang moderen dan tangguh pada jamannya dijalankan bentuk bentuk pencapaian sebagai berikut:
ü    Reorganisasi kemiliteran
ü    Disusun buku panduan Sekolah Prajurit 1855
ü    Mendatangkan pelatif profesional ketentaraan dari Eropa; 1 kapten infanteri, 4 bintara infanteri, 1 letnan dan 1 bintara kavaleri. 4. Tahun 1935 Legiun Mangkunegaran dibagi dalam staf yang memiliki;ajudan atau intendan, dokter militer, dan korps musik, dan batalyon dibagi dengan 6 kompi serta unit mitraliur

Misi Yang Dilakukan Pasukan Mangkunegaran

Beberapa misi yang pernah dilakukan oleh Pasukan Mangkunegaran, antara lain :
ü    Misi di Jogja
Pemberangkatan pasukan Mangkunegaran tiba di Yogyakarta pada tahun 1812 dan langsung dipimpin oleh sang komandan Pangeran Adipati Prangwadana. Misi di Yogyakarta selain mencegah konflik yang berlarut di kalangan keluarga sultan Yogyakarta juga untuk menghadiri wisuda Pangeran Natakusuma sebagai Adipati Paku Alam I. Pasukan Mangkunegaran di Yogyakarta dihadang oleh oleh pasukan Yogyakarta yang dipimpin oleh Raden Sindureja.
ü    Misi di Aceh
Dalam misi penyerbuan ke Aceh Legiun Mangkunegaran dengan Paku Alam berangkat dari pelabuhan Semarang.KPH. Gandasisworo dari Mangkunegaran dan KPH. Pakukuning dari Paku Alaman keduanya adalah sebagai komandan misi dari masing masing kerajaan.
ü    Pertempuran Tuntang
Pertempuran di tuntang tempat Gubernur Yanssens menyerah adalah pertempuran mempertahankan pulau Jawa dari serbuan Inggris tetapi gagal.Dalam babad Paku Alaman dikatakan bahwa Pangeran Prangwadana keplajar atau melarikan diri dari arena pertempuran tetapi babad Paku Alaman tidak pernah mengemukakan satuan pasukan dari Kasultanan dan Kasunanan yang memiliki kewajiban membantu pasukan Yanssens menghadapi Inggris. Satu satunya bantuan yang dinantikan oleh Yanssen ternyata hanya datang dari Mangkunegaran.
ü    Perang Dunia II
Legiun Mangkunegaran terlibat dalam perang dunia II ketika Jepang menyerbu Jawa.

Pembubaran Pasukan

Runtuhnya pemerintahan Hindia Belanda yang diikuti masuknya tentara Jepang ke Hindia Belanda, juga berdampak kepada Legioen Mangkunegaran. Akhirnya tahun 1942 Legioen Mangkunegaran dibubarkan pemerintah pendudukan Jepang.

Kesimpulan

Juli 1808, Gubernur Jenderal Daendels mengangkat Pangeran Ario Prabu Prang Wedono menjadi kolonel untuk memimpin Legioen Mangkunegaran. Awal jumlah tentara Legioen Mangkunegaran saat itu adalah 800 prajurit infantrie fusilier, 100 prajurit jagers, 200 prajurit kavallerie, dan 50 prajurit rijdende artillerie. Segala bentuk biaya termasuk persenjataan dibiayai oleh pemerintah Hindia Belanda Legioen Mangkunegaran merupakan tentara cadangan pemerintah Hindia Belanda yang bisa dipakai sewaktu-waktu jika pemerintah Hindia Belanda membutuhkannya. Legioen Mangkunegaran juga dibekali berbagai keterampilan dalam bidang mempertahankan diri. Banyak juga buku pegangan yang diberikan kepada tentara Legioen Mangkunegaran. Di Pura mankunegaran terdapat pula Prajurit wanita. Tugas prajurit perempuan istana adalah menyambut tamu kehormatan. Mereka mengenakan pakaian laki-laki bersulam emas, menyambut tamu dengan menembakkan senjata tiga kali ke udara, setelah itu mereka naik kuda dan di belakangnya diikuti oleh Mangkunegara dan tamu-tamunya. Sesampai di tempat penerimaan tamu, prajurit perempuan itu masuk ke Dalem (sebuah ruang khusus) untuk berganti pakaian putih polos, dan kemudian tampil kembali di hadapan tamu-tamu, menunjukkan kemahirannya memanah. Pada saat yang lain, prajurit perempuan ini menari, memeragakan tubuhnya yang gagah-gemulai dalam tari-tari keprajuritan.
Buat para  generasi muda jangan melupakan jasa- jasa pahlawan, karena kita tidak bisa merdeka apabila tiadak ada pahlawan yang mau berjuang untuk Bangsa Indonesia









Daftar Pustaka
dan beberapa arsip dari Pura MAngkunegaran

Selasa, 20 November 2012

Pajak Pada Masa Pemerintahan Raffles


BAB 1
PENDAHULUAN
Pada dasarnya penyusunan makalah ini, membuat kami mahasiswa, khususnya Ilmu Sejarah mengerti dan memahami tentang pembayar pajak pada abad XIX dan pajak masa Raffles. Sehingga dapat membantu mahasiswa dalam memahami mata kuliah sejarah agraria.
            Pada tahun 1870 Cultuurstelsel berakhir dengan resmi ,. Penanam modal swasta akan mengambil alih perkebunann-perkebunannya. Gejala Di Jawa abad 19 : pengacauan petani tiadak ada tahun yang lewat tanpa adanya gangguan setempat terhadap “kedamaian dan ketertiban”kolonial. Sistem pajak tanah, yang diperkenalkan oleh Raffles pada masa ia berkuasa di Indonesia, merupakan salah satu realisasi dari gagasan pembaharuan kaum liberal dalam kebijaksanakan politik di tanah jajahan, yang besar pengaruhnya terhadap perubahan masyarakat tanah jajahan pada masa kemudian. Pengenalan sistem pajak tanah yang dilancarkan Raffles, merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuannya tentang sistem sewa tanah di tanah jajahan.
Landrente hanya dapat dilaksanakan agak tertib di Jawa Tengah dan di beberapa daerah Jawa Barat. Di Jawa Timur (Banyuwangi, Probolinggo) di wilayah Batavia dan Priangan, karena Landrente tak dapat dijalankan, maka secara paksa pemerintah menarik pajak dengan menggunakan sistem lama. Demikian pula yang terjadi di beberapa daerah lain di luar Jawa, misalnya di Madura, Sudah barang tentu, hasilnya tidak seperti yang telah ditentukan.


BAB II
PEMBAHASAN
Pada tahun 1870 Cultuurstelsel berakhir dengan resmi ,. Penanam modal swasta akan mengambil alih perkebunann-perkebunannya. Sesaat Belanda hendak mencoba mengembalikan sistem hak milik perorangan di Madiun, tetapi gagal karena priyayi dan kepala desa agaknya tidak mau bekerja sama. Sistem itu sudah berakar  terlalu mendalam . Barang-barang dari dunia luar yang dibutuhkan penduduk desa seperti pajak,pelayanan-layanan lainnya, tekstil dan sebagainya harganya tetap mahal sementara pendapatan kaum tani kecil. Seorang ahli ekonomi Belanda, J.H.Boeke, dalam hubungan ini mengatakan,  bahwa orang desa harus “beli uang”, artinya mereka harus menjual pelayanan atau barang-barang untuk memperoleh uang pembayar pajak dan pembeli barang –barang lainnya yang dibutuhkan.
            Gejala Di Jawa abad 19 : pengacauan petani tiadak ada tahun yang lewat tanpa adanya gangguan setempat terhadap “kedamaian dan ketertiban”kolonial. Dalam hampir semua hal aksi itu merupakan protes terhadap sistem perpajakan dan biasanya datang dari pihak kaum yang berada, artinya kaum tani dengan hak-hak tanah dan pembayar-pembayar pajak, tidak pernah dari kaum yang sangat miskin dan tanpa tanah.  

PAJAK MASA RAFFLES

      A.     LATAR BELAKANG
Dalam bukunya History Of Java, lebih lanjut Raffles menulis; Gedung Balai Kota menjadi pusat segala macam kegiatan pemerintahan. Pemerintah kota dan Pengadilan Tinggi berkantor ditempat yang sama. Juga pedagang-pedagang yang melakukan transaksi sepanjang hari, sangat sibuk dalam gedung tersebut. Sedangkan gudang-gudang selalu tampak penuh dengan hasil-hasil yang menunjukkan kekayaan yang melimpah-limpah dari pulau Jawa.
Dalam pada itu lingkungan penduduk Eropa yang biasanya tinggal dalam gugusan kota yang terbaik kelihatan hidup dengan tenang dan mendapatkan penghormatan yang layak dari masyarakat. Juga penduduk Cina tampak lebih terhormat daripada penduduk Bumiputera.
Keadaan sosial-ekonomi penduduk Cina memang jauh lebih baik daripada penduduk Bumiputera. Lebih-lebih karena dalam hal pemungutan pajak kebanyakan merekalah yang melakukannya. Misalnya saja, yang paling banyak dikuasakan kepada mereka ialah pemungutan pajak pasar. Keadaan demikian mulai berlaku sejak Daendels dalam rangka usahanya agar dengan cepat dapat memperoleh uang, ia telah memborongkan atau mengontrakkan beberapa jenis pemungutan pajak kepada beberapa orang Cina yang kaya. Batas waktu hak memungut pajak dari para pemborong tidak diketahui dengan pasti. Oleh karena itu pula maka dibagian-bagian kota yang lain, kewajiban membayar pajak para pedagang di pasar-pasar jumlahnya juga tidak dapat diketahui dengan pasti. Sulit diperkirakan karena penarikan pajak itu seolah-olah sudah menjadi hak golongan tertentu. Akan tetapi mungkin juga masih dapat diperkirakan, yakni masih lebih banyak daripada jumlah yang ditarik pada waktu-waktu yang lebih kemudian.
Dari penjelasan Raffles perihal pajak tersebut diatas, terutama pada kalimatnya yang terakhir, jelaslah bahwa kemudian ia melakukan perombakan total dalarn sistem pemungutan pajak. Mencabut hak pungut dari golongan tertentu, kemudian mengembalikannya kepada sistem lama, yakni dijalankan oleh pemerintah.

      B.      PAJAK MASA RAFFLES
Sudan lazim setiap datang penguasa baru, hukum dan peraturan baru pun muncul pula. Demikian pula dalam pelaksanaannya, terjadi perbedaan-perbedaan dan penyimpangan-penyimpangan, meskipun dalam artikel 5 proklamasi 11 September 1811 telah ditentukan bahwa segala macam kekuatiran akan terjadinya perubahan besar-besaran akan dihindarkan. Akan tetapi peraturan-peraturan dasar yang menguntungkan bagi Belanda juga dilanjutkan oleh Inggris.
Sistem pajak tanah, yang diperkenalkan oleh Raffles pada masa ia berkuasa di Indonesia, merupakan salah satu realisasi dari gagasan pembaharuan kaum liberal dalam kebijaksanakan politik di tanah jajahan, yang besar pengaruhnya terhadap perubahan masyarakat tanah jajahan pada masa kemudian.
Pengenalan sistem pajak tanah yang dilancarkan Raffles, merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuannya tentang sistem sewa tanah di tanah jajahan. Gagasannya itu timbul dari upayanya untuk memperbaiki sistem paksa dari Kumpeni (VOC), yang dianggap memberatkan dan merugikan penduduk. Menurut Raffles sistem penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi, akan memberikan peluang tindakan penindasan, dan tidak akan mendorong semangat kerja penduduk, karena itu merugikan pendapatan negara. Maka dari itu Raffles menghendaki perubahan sistem penyerahan paksa dengan sistem pemungutan pajak tanah, yang dianggap akan menguntungkan kedua belah pihak baik negara maupun penduduk.
Dalam pengaturan pajak tanah, Raffles dihadapkan pada pemilihan antara penetapan pajak secara sedesa dan secara perseorangan. Sebelumnya pengumpulan hasil tanaman, terutama dari sawah yaitu beras dilakukan melalui sistem penyerahan wajib melalui penguasa pribumi, dan dikenakan secara kesatuan desa. Dalam hal ini para bupati dan kepala desa memiliki keleluasaan untuk mengaturnya. Akan tetapi Raffles tidak menyukai cara ini, karena penetapan pajak per desa akan mengakibatkan ketergantungan penduduk kepada kemurahan para penguasa pribumi, dan penindasan terhadap rakyat tidak dapat dihindarkan, Maka dan itu, Raffles lebih suka memilih penetapan pajak secara perseorangan, karena akan lebih menentukan kepastian hukum dalam bidang perpajakan, sekalipun tidak mudah.
Isi pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal. Penetapan pajak tanah tersebut didasarkan pada klasifikasi kesuburan tanah masing-masing, dan terbagi atas tiga klasifikasi, yaitu terbaik (I), sedang (II), dan kurang (III). Rincian penetapan pajak itu sebagai berikut :
      1)      Pajak Tanah Sawah :
Golongan           I,          1/2        Hasil Panenan
Golongan           II,         2/5        Hasil Panenan
Golongan           III,        1/3        Hasil Panenan

      2)      Pajak Tanah Tegal :
Golongan           I,          2/5        Hasil Panenan
Golongan           II,         1/3        Hasil Panenan
Golongan           III,        1/4        Hasil Panenan

Pajak dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi atau beras, yang ditarik secara perseorangan dari penduduk tanah jajahan. Penarikan pajak dilakukan oleh petugas pemungut pajak. Pelaksanaan pemungutan pajak tanah dilakukan secara bertahap. Pertama-tama dilakukan percobaan penetapan pajak per distrik di Banten. Kemudian pada tahun 1813 dilanjutkan dengan penetapan pajak per desa, dan baru pada tahun 1814 diperintahkan untuk dilakukan penetapan pajak secara perseorangan.
Dalam pelaksanaannya, sistem pemungutan pajak tanah ini, tidak semua dapat dilakukan menurut gagasannya, karena banyak menghadapi kesulitan dan hambatan yang timbul dari kondisi di tanah jajahan. Malahan praktek pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan kericuhan dan penyelewengan. Belum adanya pengukuran luas tanah yang tepat, kepastian hukum dalam hak milik tanah belum ada, hukum adat masih kuat, penduduk belum mengenal ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan pelaksanaan pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak menimbulkan penyelewengan.
Kurang berhasilnya sistem pemungutan pajak tanah yang dilancarkan Raffles, menyebabkan pemerintah Belanda yang menerima pengembalian tanah jajahan dari Inggris pada tahun 1816, ragu dalam memilih antara sistem pajak dan sistem paksa. Dihadapkan tuntutan negeni induk yang mendesak pertimbangan terhadap sistem yang lebih menguntungkan negeri induk cenderung selalu yang dipilih. Demikian pula, yang dihadapi para penguasa kolonial pada masa 1816-1830.
Para penguasa kolonial Belanda sesudah 1816, seperti para Komisaris Jenderal (1816-1819), Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819- 1826), dan Du Bus de Gesignies, misalnya, semula berniat meneruskan gagasan liberal dengan melakukan politik perlindungan hak-hak penduduk pribumi dan perbaikan nasibnya, terpaksa meneruskan politik eksploitasi tanah jajahan demi keuangan negeri induk yang sedang mengalami kemerosotan. Sekalipun demikian, mereka masih mencari cara-cara untuk menjalankan prinsip kebebasan, sehingga kebijaksanaan politiknya bersifat dualistis. Pada satu pihak, pemerintah melakukan sistem pungutan hasil tanaman lewat penguasa pribumi, sekalipun dengan pengawasan ketat; pada pihak lain, pemerintah memberikan keleluasaan pengusaha barat untuk membuka perkebunan dan perusahaan agrobisnisnya.
Sementara itu, sistem pajak-tanah terus dilaksanakan, tetapi berbeda dengan cara yang dikehendaki Raffles. Pungutan pajak tanah dibebankan kepada desa, bukan kepada perseorangan. Pembayaran pajak tanah tidak selalu dilakukan dengan uang, tetapi juga dengan barang. Umumnya para petani dapat membayar dengan uang tunai apabila mereka dapat menjual berasnya, terutama dalam jumlah besar. Penjualan beras dalam jumlah besar hanya mungkin apabila terdapat perdagangan beras di pasaran yang maju. Usaha untuk memperbesar produksi beras secara besar-besaran dan menciptakan mekanisme pasar yang maju tidak mudah.
Berbeda dengan Raffles, pemerintah kolonial Belanda sesudah tahun 1816 mempertahankan kedudukan para bupati sebagai penguasa feodal (tradisional), di samping sebagai pegawai pemerintah kolonial, yang bertanggung jawab atas pungutan pajak tanah.

C.     PELAKSANAAN LANDRENTE
Kembali kepada soal pajak-tanah (Landrente) yang diciptakan oleh Raffles dengan pengumuman 11 Pebruari 1811, ternyata telah mendapat beberapa tantangan. Khususnya dalam bidang administrasi, telah timbul berbagai kesulitan yang sukar diselesaikan. Sebagaimana telah disinggung dimuka, peraturan itu terlalu tergesa-gesa dikeluarkan dan serta merta sudah ada beberapa orang yang tidak dapat menerimanya. Inilah satu sebab terpenting mengapa landrente tidak dapat berjalan lancar. Sebab yang lain ialah, keadaan sosial-ekonomis penduduk desa rata-rata sangat sukar untuk dapat.memenuhi pajak tanah tersebut, padahal mereka sudah mempunyai kewajiban lain, yakni membayar iuran kas desa.
Sebegitu jauh, setelah diusahakan sungguh-sungguh, landrente hanya dapat dilaksanakan agak tertib di Jawa Tengah dan di beberapa daerah Jawa Barat. Di Jawa Timur (Banyuwangi, Probolinggo) di wilayah Batavia dan Priangan, karena Landrente tak dapat dijalankan, maka secara paksa pemerintah menarik pajak dengan menggunakan sistem lama. Demikian pula yang terjadi di beberapa daerah lain di luar Jawa, misalnya di Madura, Sudah barang tentu, hasilnya tidak seperti yang telah ditentukan.
Karena kemacetan-kemacetan yang dialami dalam pelaksanaan system tersebut, pemerintah akhirnya mengadakan pembaharuan besar-besaran, meliputi bidang administrasi dan staf pegawai. Perombakan administrasi keuangan, kecuali yang bersangkut paut dengan landrente akan digarap oleh Revenue Committee (Komisi Pembaharuan) yang dibentuk pada tanggal 13 Agustus 1813. Staf Direksi landrente, stelsel pajak baru, akan langsung diperbaharui dan dipimpin oleh Raffes selaku luitnant gouverneur, Accountant General Office (Kantor Besar Akuntan), yang memegang kekuasaan likwidasi dan peripikasi, menguasai seluruh pembukuan. Akan tetapi dalam soal pengawasan dan penguasaan barang-barang perbendarahaan berada di luar wewenang mereka. Jadi wewenang dan tanggung jawab mereka terbatas; yakni hanya dalam segi pendapatan, bukan penggunaannya.
Segala macam peraturan tentang pengawasan, menurut ketentuan ketentuan yang lebih kemudian tidak diketahui lagi. Dalam pada itu perihal segenap bangunan atau gedung-gedung, diserahkan kepada para pegawai atas dasar kepercayaan pada ketulusan dan ikhtiar mereka masing-masing.










DAFTAR PUSTAKA


·         Kartodirjo, Sartono.  Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium sampai Imporium, Jilid 1. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1995.
·         Kartodirjo, Sartono, dkk. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : PT Grafitas. 1975
·         Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Depdikbud. 1982.
·         M.C.Ricklefs. Cetakan lima. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University. 1995.
·         Nugroho Noto Susanto. Sejarah Nasional Indonesia jilid II. Bandung : Masa Baru. 1979.
·         Prof.Dr.D.H.Burger. Indonesia antara tahun 1500-1800. Jakarta : Pradnjaparamita. 1962.
·         Sanusi Pane. Sejarah Indonesia II. Jakarta : Balai Pustaka. 1965.
·         Tjondronegoro, M.P S, dan Gunawan, W. Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: PT. Gramedia. 1984.