Selasa, 20 November 2012

Pajak Pada Masa Pemerintahan Raffles


BAB 1
PENDAHULUAN
Pada dasarnya penyusunan makalah ini, membuat kami mahasiswa, khususnya Ilmu Sejarah mengerti dan memahami tentang pembayar pajak pada abad XIX dan pajak masa Raffles. Sehingga dapat membantu mahasiswa dalam memahami mata kuliah sejarah agraria.
            Pada tahun 1870 Cultuurstelsel berakhir dengan resmi ,. Penanam modal swasta akan mengambil alih perkebunann-perkebunannya. Gejala Di Jawa abad 19 : pengacauan petani tiadak ada tahun yang lewat tanpa adanya gangguan setempat terhadap “kedamaian dan ketertiban”kolonial. Sistem pajak tanah, yang diperkenalkan oleh Raffles pada masa ia berkuasa di Indonesia, merupakan salah satu realisasi dari gagasan pembaharuan kaum liberal dalam kebijaksanakan politik di tanah jajahan, yang besar pengaruhnya terhadap perubahan masyarakat tanah jajahan pada masa kemudian. Pengenalan sistem pajak tanah yang dilancarkan Raffles, merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuannya tentang sistem sewa tanah di tanah jajahan.
Landrente hanya dapat dilaksanakan agak tertib di Jawa Tengah dan di beberapa daerah Jawa Barat. Di Jawa Timur (Banyuwangi, Probolinggo) di wilayah Batavia dan Priangan, karena Landrente tak dapat dijalankan, maka secara paksa pemerintah menarik pajak dengan menggunakan sistem lama. Demikian pula yang terjadi di beberapa daerah lain di luar Jawa, misalnya di Madura, Sudah barang tentu, hasilnya tidak seperti yang telah ditentukan.


BAB II
PEMBAHASAN
Pada tahun 1870 Cultuurstelsel berakhir dengan resmi ,. Penanam modal swasta akan mengambil alih perkebunann-perkebunannya. Sesaat Belanda hendak mencoba mengembalikan sistem hak milik perorangan di Madiun, tetapi gagal karena priyayi dan kepala desa agaknya tidak mau bekerja sama. Sistem itu sudah berakar  terlalu mendalam . Barang-barang dari dunia luar yang dibutuhkan penduduk desa seperti pajak,pelayanan-layanan lainnya, tekstil dan sebagainya harganya tetap mahal sementara pendapatan kaum tani kecil. Seorang ahli ekonomi Belanda, J.H.Boeke, dalam hubungan ini mengatakan,  bahwa orang desa harus “beli uang”, artinya mereka harus menjual pelayanan atau barang-barang untuk memperoleh uang pembayar pajak dan pembeli barang –barang lainnya yang dibutuhkan.
            Gejala Di Jawa abad 19 : pengacauan petani tiadak ada tahun yang lewat tanpa adanya gangguan setempat terhadap “kedamaian dan ketertiban”kolonial. Dalam hampir semua hal aksi itu merupakan protes terhadap sistem perpajakan dan biasanya datang dari pihak kaum yang berada, artinya kaum tani dengan hak-hak tanah dan pembayar-pembayar pajak, tidak pernah dari kaum yang sangat miskin dan tanpa tanah.  

PAJAK MASA RAFFLES

      A.     LATAR BELAKANG
Dalam bukunya History Of Java, lebih lanjut Raffles menulis; Gedung Balai Kota menjadi pusat segala macam kegiatan pemerintahan. Pemerintah kota dan Pengadilan Tinggi berkantor ditempat yang sama. Juga pedagang-pedagang yang melakukan transaksi sepanjang hari, sangat sibuk dalam gedung tersebut. Sedangkan gudang-gudang selalu tampak penuh dengan hasil-hasil yang menunjukkan kekayaan yang melimpah-limpah dari pulau Jawa.
Dalam pada itu lingkungan penduduk Eropa yang biasanya tinggal dalam gugusan kota yang terbaik kelihatan hidup dengan tenang dan mendapatkan penghormatan yang layak dari masyarakat. Juga penduduk Cina tampak lebih terhormat daripada penduduk Bumiputera.
Keadaan sosial-ekonomi penduduk Cina memang jauh lebih baik daripada penduduk Bumiputera. Lebih-lebih karena dalam hal pemungutan pajak kebanyakan merekalah yang melakukannya. Misalnya saja, yang paling banyak dikuasakan kepada mereka ialah pemungutan pajak pasar. Keadaan demikian mulai berlaku sejak Daendels dalam rangka usahanya agar dengan cepat dapat memperoleh uang, ia telah memborongkan atau mengontrakkan beberapa jenis pemungutan pajak kepada beberapa orang Cina yang kaya. Batas waktu hak memungut pajak dari para pemborong tidak diketahui dengan pasti. Oleh karena itu pula maka dibagian-bagian kota yang lain, kewajiban membayar pajak para pedagang di pasar-pasar jumlahnya juga tidak dapat diketahui dengan pasti. Sulit diperkirakan karena penarikan pajak itu seolah-olah sudah menjadi hak golongan tertentu. Akan tetapi mungkin juga masih dapat diperkirakan, yakni masih lebih banyak daripada jumlah yang ditarik pada waktu-waktu yang lebih kemudian.
Dari penjelasan Raffles perihal pajak tersebut diatas, terutama pada kalimatnya yang terakhir, jelaslah bahwa kemudian ia melakukan perombakan total dalarn sistem pemungutan pajak. Mencabut hak pungut dari golongan tertentu, kemudian mengembalikannya kepada sistem lama, yakni dijalankan oleh pemerintah.

      B.      PAJAK MASA RAFFLES
Sudan lazim setiap datang penguasa baru, hukum dan peraturan baru pun muncul pula. Demikian pula dalam pelaksanaannya, terjadi perbedaan-perbedaan dan penyimpangan-penyimpangan, meskipun dalam artikel 5 proklamasi 11 September 1811 telah ditentukan bahwa segala macam kekuatiran akan terjadinya perubahan besar-besaran akan dihindarkan. Akan tetapi peraturan-peraturan dasar yang menguntungkan bagi Belanda juga dilanjutkan oleh Inggris.
Sistem pajak tanah, yang diperkenalkan oleh Raffles pada masa ia berkuasa di Indonesia, merupakan salah satu realisasi dari gagasan pembaharuan kaum liberal dalam kebijaksanakan politik di tanah jajahan, yang besar pengaruhnya terhadap perubahan masyarakat tanah jajahan pada masa kemudian.
Pengenalan sistem pajak tanah yang dilancarkan Raffles, merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuannya tentang sistem sewa tanah di tanah jajahan. Gagasannya itu timbul dari upayanya untuk memperbaiki sistem paksa dari Kumpeni (VOC), yang dianggap memberatkan dan merugikan penduduk. Menurut Raffles sistem penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi, akan memberikan peluang tindakan penindasan, dan tidak akan mendorong semangat kerja penduduk, karena itu merugikan pendapatan negara. Maka dari itu Raffles menghendaki perubahan sistem penyerahan paksa dengan sistem pemungutan pajak tanah, yang dianggap akan menguntungkan kedua belah pihak baik negara maupun penduduk.
Dalam pengaturan pajak tanah, Raffles dihadapkan pada pemilihan antara penetapan pajak secara sedesa dan secara perseorangan. Sebelumnya pengumpulan hasil tanaman, terutama dari sawah yaitu beras dilakukan melalui sistem penyerahan wajib melalui penguasa pribumi, dan dikenakan secara kesatuan desa. Dalam hal ini para bupati dan kepala desa memiliki keleluasaan untuk mengaturnya. Akan tetapi Raffles tidak menyukai cara ini, karena penetapan pajak per desa akan mengakibatkan ketergantungan penduduk kepada kemurahan para penguasa pribumi, dan penindasan terhadap rakyat tidak dapat dihindarkan, Maka dan itu, Raffles lebih suka memilih penetapan pajak secara perseorangan, karena akan lebih menentukan kepastian hukum dalam bidang perpajakan, sekalipun tidak mudah.
Isi pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal. Penetapan pajak tanah tersebut didasarkan pada klasifikasi kesuburan tanah masing-masing, dan terbagi atas tiga klasifikasi, yaitu terbaik (I), sedang (II), dan kurang (III). Rincian penetapan pajak itu sebagai berikut :
      1)      Pajak Tanah Sawah :
Golongan           I,          1/2        Hasil Panenan
Golongan           II,         2/5        Hasil Panenan
Golongan           III,        1/3        Hasil Panenan

      2)      Pajak Tanah Tegal :
Golongan           I,          2/5        Hasil Panenan
Golongan           II,         1/3        Hasil Panenan
Golongan           III,        1/4        Hasil Panenan

Pajak dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi atau beras, yang ditarik secara perseorangan dari penduduk tanah jajahan. Penarikan pajak dilakukan oleh petugas pemungut pajak. Pelaksanaan pemungutan pajak tanah dilakukan secara bertahap. Pertama-tama dilakukan percobaan penetapan pajak per distrik di Banten. Kemudian pada tahun 1813 dilanjutkan dengan penetapan pajak per desa, dan baru pada tahun 1814 diperintahkan untuk dilakukan penetapan pajak secara perseorangan.
Dalam pelaksanaannya, sistem pemungutan pajak tanah ini, tidak semua dapat dilakukan menurut gagasannya, karena banyak menghadapi kesulitan dan hambatan yang timbul dari kondisi di tanah jajahan. Malahan praktek pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan kericuhan dan penyelewengan. Belum adanya pengukuran luas tanah yang tepat, kepastian hukum dalam hak milik tanah belum ada, hukum adat masih kuat, penduduk belum mengenal ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan pelaksanaan pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak menimbulkan penyelewengan.
Kurang berhasilnya sistem pemungutan pajak tanah yang dilancarkan Raffles, menyebabkan pemerintah Belanda yang menerima pengembalian tanah jajahan dari Inggris pada tahun 1816, ragu dalam memilih antara sistem pajak dan sistem paksa. Dihadapkan tuntutan negeni induk yang mendesak pertimbangan terhadap sistem yang lebih menguntungkan negeri induk cenderung selalu yang dipilih. Demikian pula, yang dihadapi para penguasa kolonial pada masa 1816-1830.
Para penguasa kolonial Belanda sesudah 1816, seperti para Komisaris Jenderal (1816-1819), Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819- 1826), dan Du Bus de Gesignies, misalnya, semula berniat meneruskan gagasan liberal dengan melakukan politik perlindungan hak-hak penduduk pribumi dan perbaikan nasibnya, terpaksa meneruskan politik eksploitasi tanah jajahan demi keuangan negeri induk yang sedang mengalami kemerosotan. Sekalipun demikian, mereka masih mencari cara-cara untuk menjalankan prinsip kebebasan, sehingga kebijaksanaan politiknya bersifat dualistis. Pada satu pihak, pemerintah melakukan sistem pungutan hasil tanaman lewat penguasa pribumi, sekalipun dengan pengawasan ketat; pada pihak lain, pemerintah memberikan keleluasaan pengusaha barat untuk membuka perkebunan dan perusahaan agrobisnisnya.
Sementara itu, sistem pajak-tanah terus dilaksanakan, tetapi berbeda dengan cara yang dikehendaki Raffles. Pungutan pajak tanah dibebankan kepada desa, bukan kepada perseorangan. Pembayaran pajak tanah tidak selalu dilakukan dengan uang, tetapi juga dengan barang. Umumnya para petani dapat membayar dengan uang tunai apabila mereka dapat menjual berasnya, terutama dalam jumlah besar. Penjualan beras dalam jumlah besar hanya mungkin apabila terdapat perdagangan beras di pasaran yang maju. Usaha untuk memperbesar produksi beras secara besar-besaran dan menciptakan mekanisme pasar yang maju tidak mudah.
Berbeda dengan Raffles, pemerintah kolonial Belanda sesudah tahun 1816 mempertahankan kedudukan para bupati sebagai penguasa feodal (tradisional), di samping sebagai pegawai pemerintah kolonial, yang bertanggung jawab atas pungutan pajak tanah.

C.     PELAKSANAAN LANDRENTE
Kembali kepada soal pajak-tanah (Landrente) yang diciptakan oleh Raffles dengan pengumuman 11 Pebruari 1811, ternyata telah mendapat beberapa tantangan. Khususnya dalam bidang administrasi, telah timbul berbagai kesulitan yang sukar diselesaikan. Sebagaimana telah disinggung dimuka, peraturan itu terlalu tergesa-gesa dikeluarkan dan serta merta sudah ada beberapa orang yang tidak dapat menerimanya. Inilah satu sebab terpenting mengapa landrente tidak dapat berjalan lancar. Sebab yang lain ialah, keadaan sosial-ekonomis penduduk desa rata-rata sangat sukar untuk dapat.memenuhi pajak tanah tersebut, padahal mereka sudah mempunyai kewajiban lain, yakni membayar iuran kas desa.
Sebegitu jauh, setelah diusahakan sungguh-sungguh, landrente hanya dapat dilaksanakan agak tertib di Jawa Tengah dan di beberapa daerah Jawa Barat. Di Jawa Timur (Banyuwangi, Probolinggo) di wilayah Batavia dan Priangan, karena Landrente tak dapat dijalankan, maka secara paksa pemerintah menarik pajak dengan menggunakan sistem lama. Demikian pula yang terjadi di beberapa daerah lain di luar Jawa, misalnya di Madura, Sudah barang tentu, hasilnya tidak seperti yang telah ditentukan.
Karena kemacetan-kemacetan yang dialami dalam pelaksanaan system tersebut, pemerintah akhirnya mengadakan pembaharuan besar-besaran, meliputi bidang administrasi dan staf pegawai. Perombakan administrasi keuangan, kecuali yang bersangkut paut dengan landrente akan digarap oleh Revenue Committee (Komisi Pembaharuan) yang dibentuk pada tanggal 13 Agustus 1813. Staf Direksi landrente, stelsel pajak baru, akan langsung diperbaharui dan dipimpin oleh Raffes selaku luitnant gouverneur, Accountant General Office (Kantor Besar Akuntan), yang memegang kekuasaan likwidasi dan peripikasi, menguasai seluruh pembukuan. Akan tetapi dalam soal pengawasan dan penguasaan barang-barang perbendarahaan berada di luar wewenang mereka. Jadi wewenang dan tanggung jawab mereka terbatas; yakni hanya dalam segi pendapatan, bukan penggunaannya.
Segala macam peraturan tentang pengawasan, menurut ketentuan ketentuan yang lebih kemudian tidak diketahui lagi. Dalam pada itu perihal segenap bangunan atau gedung-gedung, diserahkan kepada para pegawai atas dasar kepercayaan pada ketulusan dan ikhtiar mereka masing-masing.










DAFTAR PUSTAKA


·         Kartodirjo, Sartono.  Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium sampai Imporium, Jilid 1. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1995.
·         Kartodirjo, Sartono, dkk. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : PT Grafitas. 1975
·         Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Depdikbud. 1982.
·         M.C.Ricklefs. Cetakan lima. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University. 1995.
·         Nugroho Noto Susanto. Sejarah Nasional Indonesia jilid II. Bandung : Masa Baru. 1979.
·         Prof.Dr.D.H.Burger. Indonesia antara tahun 1500-1800. Jakarta : Pradnjaparamita. 1962.
·         Sanusi Pane. Sejarah Indonesia II. Jakarta : Balai Pustaka. 1965.
·         Tjondronegoro, M.P S, dan Gunawan, W. Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: PT. Gramedia. 1984.